Sabtu, 19 Mei 2018
Syeikh Abdul Halim Mahmud
Selasa, 15 Mei 2018
KH. Seman Mulia (Guru Padang)
Al Allimul Al-Allamah Asy-Syaikh Seman Mulia (atau Syaikh Seman Mulya) adalah seorang ulama besar dari Martapura, Kalimantan Selatan, Indonesia. Masyarakat Martapura akrab memanggilnya dengan Guru Seman.
Ia mendalami Islam dari salah seorang gurunya yang juga adalah ulama besar Kalimantan saat itu, yakni Guru Kasyful Anwar.
Dengan Guru Sekumpul
Syaikh Seman adalah paman sekaligus guru dari ulama kharismatik Martapura Guru Sekumpul, KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari. Syaikh Seman secara intensif mendidik dia baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Syaikh Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan itu kepada dia kecuali di sekolah. Tapi ia langsung mengajak dan mengantarkan dia mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kalimantan maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, Syaikh Seman mengajak (mengantarkan) dia kepada al-Alim al-Allamah Syaikh Anang Sya’rani Arif yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir.
Menurut Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Syaikh Seman Mulia adalah pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Kedekatan paman dan kemenakan ini terlihat hingga di akhir hayat, di mana kubur mereka berduapun berdampingan, yakni di Komplek Ar-Raudhah, Martapura
Beberapa Riwayat
Pencuri Ayam
Satu malam ada beberapa orang mengendap-endap di luar rumah dia dan berniat untuk mencuri ayam. Namun tiba-tiba terbukalah pintu rumah dan merekapun hendak lari. Syaikh Seman justru berkata, "Jangan mengambil yang masih hidup, di dalam rumah sudah kusediakan ayam yang sudah masak. Masuklah kalian semua!"
Ternyata di rumah Syaikh Seman memang sudah tersedia makanan ayam yang sudah masak. Semua pencuri tadi disuruh makan sampai kenyang dan ketika hendak pulang, semua pencuri tadi masing-masing diberi uang dan dia berkata, "Pakailah uang ini untuk membuka usaha dan bertobatlah!"
Akhirnya semua pencuri tadi bertobat dan masing-masing membuka usaha, dan usaha tersebut semuanya laris, yang membuat para pencuri tadi hidup berkecukupan.
Nasihat Untuk Guru AyanSunting
KH. Muhammad Aini bin H. Ali (Guru Ayan), juga seorang ulama, pernah mendapat siraman rohani dari dia. Salah satunya adalah:
"Untuk memperdalam ilmu, maka kamu aku serahkan kepada Anang (panggilan kesayangan pada KH. Muhammad Zaini, sekaligus yang akan memimpin kamu, dan kamu memberikan pengajian agama cukup di rumah dan di langgar saja"
Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Seman_Mulia
KH. Syarwani Abdan (Guru Bangil)
K.H Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari atau biasa dikenal Tuan Guru Bangil (lahir di Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1915 – meninggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, 11 September 1989 pada umur 74 tahun) adalah seorang ulama yang dikenal di Kalimantan Selatan hingga Jawa Timur khususnya Bangil tempatnya mendirikan Pondok Pesantren Datu Kalampayan. Ia merupakan keturunan ke-6 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Riwayat
Tuan Guru Bangil dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M di Kampung Melayu Ilir Martapura. Sejak kecil ia sudah memiliki himmah semangat yang tinggi untuk belajar ilmu agama. Karena ketekunannya dalam belajar, ia sangat disayangi oleh para gurunya ketika masih berdomisili di Martapura. Di antaraguru ia adalah pamannya sendiri yaitu KH. M. Kasyful Anwar, Qadhi Haji Muhammad Thaha, KH. Ismail Khatib Dalam Pagar dan banyak lagi yang lainnya.
Pada usia masih sangat muda ia meninggalkan kampung halamannya Martapura menuju Pulau Jawa dan bermukim di Bangil dengan maksud memperdalam ilmu agama kepada beberapa ulama di Kota Bangil dan Pasuruan. Di antara guru ia adalah KH. Muhdhar Gondang Bangil, KH. Abu Hasan (Wetan Alun Bangil), KH. Bajuri (Bangil) dan KH. Ahmad Jufri (Pasuruan). Orang tuanya pada saat itu memang sudah lama berdiam di Kota Bangil untuk berniaga.
Saat ia berusia 16 tahun, pamannya Syekh Muhammad Kasyful Anwar seorang Aalimul Allamah (seorang yang sangat luas dan mendalam ilmu agamanya), hingga Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin H. Abdul Ghani Al-Banjari (Abah Guru Sekumpul) pernah menyebutnya sebagai seorang Mujaddid (pembaharu), oleh membawanya pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama saudara sepupunya yaitu Syekh Muhammad Sya’rani Arif, yang dikemudian hari juga dikenal sebagai seorang ulama besar di Martapura.
Selama berada di Tanah Suci kedua pemuda ini dikenal sangat tekun mengisi waktu dengan menuntut ilmu ilmu agama. Keduanya mendatangi majelis majelis ilmu para ulama besar Mekkah pada waktu itu. Di antara guru gurunya yaitu Sayyid Amin Kutby, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-Araby, Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syeikh Abdullah Al-Bukhari, Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh Syafi’i asal Kedah, Syeikh Sulaiman asal Ambon, dan Syekh Ahyad asal Bogor.
Ketekunan belajar dua keponakan Syeikh Muhammad Kasyful Anwar ini diperhatikan oleh para guru-gurunya. Diceritakan bahwa para gurunya itu sangat menyayangi keduanya. Ketekunan dan kecerdasan mereka sangat menonjol hingga dalam beberapa tahun saja keduanya sudah dikenal di Kota Mekkah hingga keduanya dijuluki Dua Mutiara dari Banjar. Tak mengherankan jika keduanya di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutbi, bahkan sempat mendapatkan kepercayaan mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram.
Selain mempelajari ilmu ilmu syariat, ia juga mengambil bai’at tarekat dari para masyayikh di sana, diataranya bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Umar Hamdan dan Tarekat Samaniyah dari Syeikh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Setelah kurang lebih sepuluh tahun menuntut ilmu di Kota Makkah, pada tahun 1939 bersama sepupunya ia kembali pulang ke Indonesia dan langsung menuju tanah kelahirannya, Martapura.
Sepulang kepulangannya dari Mekkah ia menyelenggarakan mejelis-majelis ilmu di rumahnya. Ia sempat juga mengajar di Madrasah Darussalam. Tuan Guru Bangil kemudian diminta untuk menjadi seorang qadhi, namun hal tersebut ditolaknya karena ia lebih senang berkhidmat kepada ummat tanpa terikat dengan lembaga apapun. Selanjutnya, pada tahun 1943 ia pergi ke Kota Bangil dan sempat membuka majelis untuk lingkungan sendiri hingga tahun 1944. Di samping itu ia juga sempat berguru kepada Syeikh Muhammad Mursydi, Mesir. Setelah setahun di Bangil, ia lalu kembali lagi ke Martapura. Kemudian pada tahun 1950, ia sekeluarga memutuskan untuk hijrah ke Kota Bangil.
Atas dasar dorongan para ulama serta rasa tanggungjawabnya untuk menyiarkan ilmu ilmu agama, maka pada tahun 1970 Tuan Guru Bangil memutuskan mendirikan pesantren yang diberi nama PP. Datuk Kalampayan, nama yang diambil untuk mengambil berkah julukan datuknya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Para santrinya banyak berasal dari Banjar hingga pondok pesantren itu sendiri sering disebut Pondok Banjar.
Dari hasil didikan Tuan Guru Bangil lahirlah murid muridnya yang menjadi ulama-ulama besar. Di antaranya adalah Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani Al-Banjari, Kyai Abdurrahim, Kyai Abdul Mu’thi, Kyai Khairan (daerah Jawa), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan PP. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT Sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantunya, KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH. Ahmad Bakrie (Pengasuh PP. Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Syafii Luqman, Tulung Agung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit, Kalimantan Tengah), KH. Safwan Zuhri (Pimpinan PP Sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) dan banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar di penjuru Indonesia.
Meninggal
Ia meninggal pada malam Selasa jam 20.00, tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H dalam usia lebih kurang 74 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Jafar al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang ia bangun. Makamnya sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah di Indonesia hingga luar negeri, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan, ribuan ummat Islam dari pulau Kalimantan, khususnya Suku Banjar, mulai masyarakat biasa hingga gubernur dan bupati se-Kalimantan Selatan membanjiri Kota Bangil.
Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Syarwani_Abdan_Al-Banjari