Sabtu, 10 Maret 2018

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Malang

AL HABIB ABDUL QADIR BIN AHMAD BIL FAQIH AL' ALAWY

Beliau dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H / 5 Juli 1898 M .
Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.

Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad , Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata :

”̮ Alhamdulillah , tadi malam aku dianugerahi Allah Subchaanahu Wa Ta'aalaa seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah Subchaanahu Wa Ta'aalaa akan memberikan ilmu , maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani ”̮
 
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah { tafa’ul } agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani .

Sejak kecil, Beliau sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu . Sebagai murid, Beliau dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran.
Pada masa mudanya, Beliau dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru²nya .

♡ Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu ♡ 
Demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.

Pernah suatu ketika disaat menuntut ilmu pada seorang mahaguru , Beliau ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada dipihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata :

”̮ Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini ”̮

Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.

Pendidikan utama dan pertama , Beliau dapat dari Ayah Beliau , Al Habib Ahmad Bin Muhammad Bilfaqih , seorang rujukan ummat dizamannya .
Setelah dari ayahnya , Beliau menimba ilmu dan memperoleh ijazah dari para ulama' dan auliya' , diantara Guru_Guru Beliau adalah :
- Al Imam Al Habib Abdullah Bin Umar Asy_Syathiri
- Al Imam Al Habib Alwi Bin Abdurrahman Al_Masyhur
- Al Imam Al Habib Segaf Bin Hasan Al_Aydrus
- Asy_Syeikh Al Imam Muhammad Bin Abdul Qadir Al_Kattany
- Asy_Syeikh Al Imam Umar Bin Hamdan Al_Maghriby
- Al Imam Al Habib Ali Bin Zain Al_Hadi
- Al Imam Al Habib Ahmad Bin Hasan Al_Attas
- Al Imam Al Habib Muhammas Bin Ahmad Al_Muhdor
- Asy_Syeikh Abu Bakar Bin Ahmad Al_Khatib
- Asy_Syeikh Abdurrahman Bahurmuz

Dalam usia yang masih anak-anak, Beliau telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, Beliau telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah Subchaanahu Wa Ta'aalaa  yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan:

”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”

Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya Beliau sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.

Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam . Setelah itu, Beliau melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, Beliau selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.

Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, Beliau mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.

Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 , Beliau mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang.
Beliau pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.

Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, Beliau ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra).
Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, Beliau banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam . Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abbas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, Beliau juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.

Diantara murid_murid Beliau adalah :

1. Al Habib Abdullah Bin Abdul Qadir Bilfaqih , putera dan khalifah tunggal Beliau , Al Habib Abdullah inilah yang melanjutkan semua dakwah Beliau dan menjadi pengasuh di Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah .
{ Beliau lahir di kota Surabaya , 12 Robi'ul Awal 1355 H , bertepatan dengan 1 Juni 1936 M , Beliau wafat pada tanggal 23 Jumadil Ula 1412 H / 30 Nopember 1992 } .

2 . Al Habib Salim Bin Ahmad Bin Jindan { Seorang ulama' yang berdomisili di Kota Jakarta yang dikenal dengan sebutan Singa Podium } .

3 . Al Habib Ahmad Al Habsyi { Pendiri Ponpes Ar Riyadh , Palembang , Sumsel }

4. Al Habib Muhammad Bin Husein Ba'abud { Pendiri Ponpes Darunnasyi'in , Lawang }

5 . Al Ustadz Alwi Bin Salim Al Aydrus { Da'i Kharismatik di Kota Malang }

6. Asy Syeikh Al Ustadz Abdullah Bin Awadh Abdun { Pendiri Ponpes Daruttauhid , Malang }

7. Al Habib Syeikh Bin Ali Al Jufri { Pendiri Ponpes Al Khairat dan Da'i Jakarta }

8. KH . Alawi Muhammad { Pendiri Ponpes At Taraqqi , Sampang , Madura } .

Setelah menghabiskan seluruh hidupnya untuk berdakwah , mengajar , dan mengabdi pada ummat , Beliau wafat pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1382 H / 19 Nopember 1962 , dalam usia 62 tahun .

Pada detik_detik menjelang wafat , Beliau mengatakan kepada puteranya Al Habib Abdullah :
" Lihatlah wahai anakku , Ini Kakekmu Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan Ibumu Sayyidatunaa Fatimah Az Zahra datang menjemputku . . . "

Beliau dan putra Beliau dimakamkan di Pemakaman Kasin , Kota Malang.

Hingga saat ini makam Beliau tidak pernah sepi dari para peziarah yang datang .

Sampai saat ini Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah dan majelis_majelis yang dirintis Oleh Beliau Prof . Dr Al Habib Abdullah tetap berjalan seperti sedia kala , dibawah asuhan ketiga putera Beliau , Al Habib Abdul Qadir Bin Abdullah Bilfaqih , Al Habib Muhammad Bin Abdullah Bilfaqih , dan Al Habib Abdurrahman Bin Abdullah Bilfaqih .

Untuk mengenang jasa_jasa kebaikan Beliau serta menghidupkan kembali ajaran_ajaran Beliau , maka setiap tahunnya , pada hari Ahad terakhir Bulan Jumadil Akhir diadakan HAUL Al Habib Abdul Qadir Bin Ahmad Bilfaqih dan Putera Beliau Prof.Dr. Al Habib Abdullah Bin Abdul Qadir Bilfaqih , beserta HUT Pesantren di Pelataran Pondok Darul Hadits Al Faqihiyyah , yang dihadiri oleh ribuan muslimin dari berbagai penjuru Tanah Air , bahkan sebagian mereka datang dari Luar Negeri .

======================

Sumber: PISS - KTB

Kamis, 08 Maret 2018

Syeikh Zein Bawean

Hampir di seluruh pelosok pulau di Nusantara memiliki catatan sejarah para ulama yang berperan besar dalam pengembangan Islam. Di antaranya adalah Syeikh Muhammad Zainuddin Bawean, sosok ulama tauladan dari pulau terpisah dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Syekh Muhammad Zainuddin Bawean atau al-Baweani adalah salah seorang ulama keturunan Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah.
Ia juga dikenal sebagai salah seorang penyebar gagasan kebangsaan Indonesia di kalangan para santri dan mahasiswa di Madrasah Darul Ulum Makkah al-Mukarramah. Syekh Muhammad Zainuddin lahir di Makkah pada tahun 1334 H/1915. Ayahnya adalah Syekh Abdullah bin Muhammad Arsyad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Abdul Latif Bawean.
Adalah kakeknya yang pertama kali menginjakkan kaki di negeri Hijaz. Orang-orang Bawean memang banyak yang menjadi pengembara, untuk tujuan ekonomi maupun untuk menuntut ilmu hingga ke Tanah Suci.
Syekh Muhammad Hasan Asy’ari (wafat sekitar tahun 1921) adalah di antara orang-orang Bawean yang berhasil jadi ulama dan juga guru besar di Makkah.
Sejak kecil, Syekh Zainuddin mengaji pertama kali sama ayahnya, lalu berguru pada ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah. Di antaranya Syekh Amin al-Kurdi, Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syekh Muhammad Baqir al-Jugjawi (asal Yogyakarta), dan Syekh Sayid Muhsin al-Musawa (asal Palembang).
Beliau juga nyantri dan belajar di Madrasah al-Fakhriyah, lalu di Madrasah Shaulatiyah pada tahun 1351 H/1932. Di tahun awal beliau bergabung ke madrasah favorit itu, sudah muncul konflik dan ketegangan di antara guru dan mahasiswa asal Indonesia.
Karena diyakini siapa yang ngaji di sini pasti jadi ulama besar di kampungnya. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, hingga Syekh Musthafa Husein Purba, pendiri Pesantren Musthafawiyah, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara adalah di antara alumni Madrasah Shaulatiyah.
Tapi, suatu kali ada seorang guru Arab di Madrasah Shaulatiyah ini yang kurang beradab: menghina bahasa Melayu dan menyebut orang Nusantara bodoh sehingga gampang dijajah Belanda.
Saat itu juga para mahasiswa tersinggung dan marah mengecam perilaku guru tersebut. Lalu muncullah semangat patriotisme orang-orang Indonesia di sana untuk membela agama dan juga bela kebangsaan Indonesia sekaligus.
Tidak terkecuali Syekh Zainuddin Bawean sendiri, dimana saat itu usianya memasuki 20 tahun. Protes ini berujung pada para ulama Nusantara kumpul dan mendirikan madrasah sendiri, dan meninggalkan Madrasah Shaulatiyah pada 1934.
Muncullah Madrasah Darul Ulum di tahun 1353 H/1934 yang berkarakter Islam Nusantara. Mudir atau rektor pertamanya adalah Syekh Muhsin al-Musawa (wafat 1935). Syekh Yasin Isa al-Fadani, ulama terkenal dari Nusantara dan sahabat akrab Syekh Zainuddin, juga pernah jadi rektor disini.
Seorang ulama Maghribi kenamaan dan ahli hadis dan nahwu bernama Syekh Ali bin Ibrahim al-Maliki (wafat 1948, gurunya para ulama Betawi dan ulama besar Indonesia lainnya) jadi pelindung dan guru besar di madrasah ini.
Maka, Syekh Zainuddin pun pindah dan belajar di Madrasah Darul Ulum yang kemudian menjadi kiblat baru para pelajar Indonesia. Beliau juga ikut andil dalam pendirian dan pengembangan Darul Ulum, termasuk dipercaya mengajar beberapa tahun kemudian.
Selain belajar dan mengajar di Madrasah Darul Ulum, Syekh Zainuddin juga ngaji dan berguru kepada beberapa ulama di dalam pengajian Masjidil Haram maupun di rumah-rumah ulama yang berada di sekitar Makkah.
Itu adalah bukti ketekunan beliau mencari ilmu dan berguru kepada sebanyak mungkin ulama di Makkah-Madinah hingga ke Yaman dan Indonesia. Dalam berbagai lawatan dan kunjungannya di beberapa daerah, beliau tidak lupa untuk selalu silaturahim ke berbagai ulama dan mengambil ijazah ammah dari mereka.
Ijazah ammah adalah perkenan untuk membaca kitab-kitab atau ilmu-ilmu tertentu dari seorang guru, yang diberikan secara umum dalam jamaah pengajian, dan tidak spesifik ilmu atau kitab tertentu yang harus dibaca dari awal hingga akhir.
Di antara ulama-ulama yang memberikan ijazah ammah kepada beliau adalah sebagai berikut: Syekh Muhammad Ibrahim al-Mulla, Syekh Ibrahim bin Muhammad Khair bin Ibrahim al-Ghulayaini, Syekh Habib Hamid bin Abdul Hadi bin Abdullah bin Umar al-Jailani, Syekh Sayyid Muhammad bin Hadi as-Saqaf.
Sementara itu, di antara para ulama yang berguru pada beliau dan meriwayatkan ilmu beliau adalah Syekh Nabil bin Hasyim Ala Ghamri dan Syekh Sayid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani (wafat 2004).
Syekh Zainuddin dikenal punya suara yang bagus, tawadhu dan alim. Gurunya, Syekh Amin al-Kurdi, pernah meminta beliau untuk melantunkan kasidah yang memuji Rasulullah shallallahualaihiwasallam.
Beliau kemudian dipercaya menjadi muballigh di beberapa daerah di negeri Hijaz, hingga ke negeri Yaman dan Indonesia. Syekh Zainuddin juga dikenal sebagai penulis beberapa karya kitab.
Di antaranya al-Fawaidu-z-Zainiyah ala Manzhumati-r-Rahbiyah dalam soal hukum waris, Faidhu-l-Mannan fi Wajibati Hamili-l-Quran, al-Ulumu-l-Wahbiyah fi Manazili-l-Qurbiyah, Ghayatu-s-Sul liman yuridu-l-Ushul ila barri-l-ushul, musyahadatu-l-lmahbub fi tathhiri-l-qawalibi wa-lqulub.
Syekh Zainuddin Bawean menghabiskan masa tuanya di Mekah. Nama beliau selalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan ulama Mekah dan sekitarnya.
Para ulama dan santri jamaah haji Indonesia selalu menyempatkan diri bersilaturahim kepada beliau, mencari berkat dan membaca sedikit dari kitab suci Alquran sebab beliau merupakan seorang yang ahli qira’at.
Syekh Muhammad Zainuddin Bawean wafat pada tahun 1426 H/2005. Jenazah beliau dishalatkan di Masjidil Haram dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la kota Makkah.
Sumber:
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/07/16/nrkbxe-syekh-muhammad-zainuddin-bawean-teladan-dari-bawean-hingga-makkah-1
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/07/16/nrkc63-syekh-muhammad-zainuddin-bawean-teladan-dari-bawean-hingga-makkah-2habis

Habib Hamid bin Abbas Bahasyim ( Habib Basirih )

AL QUTHUB AL HABIB HAMID BIN 'ABBAS BAHASYIM ( WALI MAJEDZUB ASAL KALIMANTAN SELATAN )
Beliau masyhur dikenal dengan julukan "Habib Basirih / Datuk Keramat Basirih". Begitulah orang kalimantan mengenal Beliau karena Beliau tinggal dan di makamkan di kampung Basirih (Banjarmasin-Kalimantan Selatan),Di mata orang Kalimantan Beliau adalah seorang Wali Quthub yang Waro' dan memiliki berbagai kelebihan/karomah yang luar biasa dan ajaib. Tanah makam beliau naik secara sendirinya membentuk sebuah tumpukkan gunungan kecil dan selalu tercium bau harum. Beliau memiliki sebuah kolam sumur tempat beliau mandi yang sampai sekarang masih terawat apik disekitar komplek makam beliau. Air kolam tersebut dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan memberikan banyak berkah lainnya.

(Wallahu'alam,, sungguh ALLAH SWT Maha Sempurna dengan menampakkan kekuasaannya kepada seorang Walinya).
Tak secara jelas kami mengetahui kapan beliau lahir dan sejak kapan Beliau menetap di Kalimantan dan kenapa Banjarmasin ibu kota Kalimantan Selatan jadi tempat singgah terakhir Beliau.

Nasab Al Habib Hamid:
Beliau seketurunan dengan Sunan Ampel (Surabaya).Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shohib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rosulullah SAW). Silsilah kedua Auliya ini bertemu di Alwi Ummul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Ummul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib Basirih

Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar (Lihat Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.

Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).

Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau8 menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.

Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.

Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.

Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khodijah.

Seperti diketahui, Habib Hamid mempunyai 4 anak, 3 putri dan 1 putra. Saya tidak membicarakan ke 3 putri beliau, karena otomatis garis keturunan beliau terputus (maksudnya tidak menurunkan fam Bahasyim dari habib Hamid lagi kepada anak2 nya)

Dari 1 putra beliau yang bernama Habib Hasan Bahasyim mendapat 1 anak laki-laki bernama Habib 'Idrus Bahasyim dan beberapa anak perempuan (termasuk Syarifah Khodijah Bahasyim yang masih hidup)

Alm.Habib 'Idrus (satu-satunya cucu laki-laki habib Hamid) kemudian kawin 2 kali dengan anak anak sbb :

Dari Syarifah Raguan Baragbah (istri pertama) ;
1. Syarifah Fizria Maryam (Banjarbaru)
2. Habib Fitri Hamid (kubah Basirih)
3. Habib Fathurrachman Bahasyim (Banjarmasin)
4. Habib Fadil Bahasyim (Samarinda)

Dari Syarifah Hani Bilfagih (istri kedua)
1. Habib 'Ali Bahasyim (Jakarta)
2. Syarifah Zuraida Bahasyim (Banjarmasin)
3. Habib Fuad Bahasyim (Banjarmasin)

Jumlah pengunjung di Kubah Habib Basirih walau belum dapat dibandingkan dengan makam Sunan Ampel di Ampel, Surabaya tak mengurangi ketokohan beliau. Sunan Ampel adalah tokoh utama Wali Songo, sebuah dewan (forum) ulama kelas wahid di zaman Kesultanan Demak. Dari segi usia, Sunan Ampel lebih tua dan lebih sepuh dari Habib Basirih yang hidup di masa yang lebih muda. Habib Basirih hidup di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sunan Ampel hidup sekitar 400 tahun sebelum Habib Basirih. Yang mempertemukan keduanya adalah mereka sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rasulullah Muhammad SAW). Silsilah kedua tokoh ini bertemu di Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel dari jalur putra Alwi Umul Faqih yang bernama Abdul Malik (yang hijrah dari Tarim, Hadramaut, Yaman ke India) sedang Habib Basirih dari jalur putra Alwi yang bernama Abdurrahman. Jika Sunan Ampel adalah keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36.

NASAB HABIB BASIRIH adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.

Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar  Mata Banua, 8 Agustus: Kisah Para Penebang Kayu Trah Bahasyim Basirih).
Selain dapat ditempuh lewat jalan darat (ada rute trayek angkutan kota/taksi kuning yang melintasi dan menuju Kubah Habib Basirih), peziarah juga dapat mengunjungi petilasan Basirih lewat jalur sungai. Belum ada biro perjalanan wisata yang menggarap rute alternatif via jalan sungai ini sebagai bagian dari paket wisatanya. Sebelum mencapai Kubah Habib Basirih, beberapa ratus meter sebelumnya terdapat pula makam ibu beliau yakni Syarifah Ra’anah. Makam Habib Basirih dan ibundanya masuk dalam daftar inventaris binaan Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Keduanya digolongkan sebagai objek wisata religius (spiritual) yang layak dikunjungi. Makam Habib Abbas bin Abdullah Bahasyim, suami Syarifah Ra’anah dan ayahanda Habib Basirih justru tak diketahui keberadaannya hingga kini.
Beberapa pihak menduga makam beliau berkumpul di pemakaman habaib di Basirih seberang sungai di dekat Masjid Jami Darut Taqwa Kelurahan Basirih, Banjar Selatan. Masjid ini menurut keterangan didirikan tahun 1822 oleh H Mayasin. Pada tahun 1848 keluarga Habib Basirih pernah merehab masjid ini.Versi lain mengatakan Habib Abbas bermakam di wilayah Sungai Baru. Habbis Abbas dikenal sebagai saudagar kaya raya dan mempunyai kapal dagang. Beliau juga disebut-sebut mempunyai tanah yang cukup luas di wilayah Basirih di samping di Sungai Baru (kini nama sebuah kelurahan di sekitar Jalan A Yani dan Jalan Pekapuran).
Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukan sejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk) kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Pada zaman Jepang, Habib Hamid keluar dari pertapaannya. Sejumlah kelakuan aneh beliau belakangan dipahami sebagai pekerjaan kewalian beliau menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.
Perbuatan Habib Hamid lainnya yang spektakuler adalah menghidupkan kambing mati. Suatu hari, seorang tetangga mengatakan kepada beliau bahwa di batang (rakitan kayu gelondongan di atas sungai yang dapat berfungsi untuk tempat mandi dsbnya) milik Habib Basirih terdapat bangkai kambing yang sudah membusuk. Bersama Habib Hamid, tetangga itu turun ke batang untuk membuktikan penglihatannya. Tetangga itu kaget ketika matanya menatap seekor kambing hidup terikat di batang Habib Hamid.Ulah Habib Hamid lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batillantang).
“Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setalah diberi ‘air penenang’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
Kisah lainnya, beberapa pria dari atas perahu melintas di depan batang Habib Basirih. Mereka mengolok-olok Habib Basirih ketika beliau sedang mandi di atas batang. Gerak-gerik Habib Basirih yang ganjil menyulut mereka mengeluarkan ucapan yang kurang pantas. Tiba-tiba, perahu mereka menabrak tebing sisi sungai dan kandas. Cerita lainnya, yang masyhur beredar di Basirih, seorang pedagang ikan berperahu menolak panggilan singgah Habib Hamid. Si pedagang berpikir tak mungkin Habib Basirih membayar dagangannya. Akibatnya, selama satu hari penuh tak satupun barang jualan pedagang ikan tersebut ada yang laku. Sementara pedagang lainnya yang menghampiri panggilan Habib Basirih, berkayuh menuju rumah lebih cepat sebab dagangannya hari itu tak bersisa.
Habib Hamid banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya. Suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.“Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah. “Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah