Kamis, 08 Maret 2018

Syeikh Zein Bawean

Hampir di seluruh pelosok pulau di Nusantara memiliki catatan sejarah para ulama yang berperan besar dalam pengembangan Islam. Di antaranya adalah Syeikh Muhammad Zainuddin Bawean, sosok ulama tauladan dari pulau terpisah dari Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Syekh Muhammad Zainuddin Bawean atau al-Baweani adalah salah seorang ulama keturunan Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah.
Ia juga dikenal sebagai salah seorang penyebar gagasan kebangsaan Indonesia di kalangan para santri dan mahasiswa di Madrasah Darul Ulum Makkah al-Mukarramah. Syekh Muhammad Zainuddin lahir di Makkah pada tahun 1334 H/1915. Ayahnya adalah Syekh Abdullah bin Muhammad Arsyad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Abdul Latif Bawean.
Adalah kakeknya yang pertama kali menginjakkan kaki di negeri Hijaz. Orang-orang Bawean memang banyak yang menjadi pengembara, untuk tujuan ekonomi maupun untuk menuntut ilmu hingga ke Tanah Suci.
Syekh Muhammad Hasan Asy’ari (wafat sekitar tahun 1921) adalah di antara orang-orang Bawean yang berhasil jadi ulama dan juga guru besar di Makkah.
Sejak kecil, Syekh Zainuddin mengaji pertama kali sama ayahnya, lalu berguru pada ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah. Di antaranya Syekh Amin al-Kurdi, Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syekh Muhammad Baqir al-Jugjawi (asal Yogyakarta), dan Syekh Sayid Muhsin al-Musawa (asal Palembang).
Beliau juga nyantri dan belajar di Madrasah al-Fakhriyah, lalu di Madrasah Shaulatiyah pada tahun 1351 H/1932. Di tahun awal beliau bergabung ke madrasah favorit itu, sudah muncul konflik dan ketegangan di antara guru dan mahasiswa asal Indonesia.
Karena diyakini siapa yang ngaji di sini pasti jadi ulama besar di kampungnya. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, hingga Syekh Musthafa Husein Purba, pendiri Pesantren Musthafawiyah, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara adalah di antara alumni Madrasah Shaulatiyah.
Tapi, suatu kali ada seorang guru Arab di Madrasah Shaulatiyah ini yang kurang beradab: menghina bahasa Melayu dan menyebut orang Nusantara bodoh sehingga gampang dijajah Belanda.
Saat itu juga para mahasiswa tersinggung dan marah mengecam perilaku guru tersebut. Lalu muncullah semangat patriotisme orang-orang Indonesia di sana untuk membela agama dan juga bela kebangsaan Indonesia sekaligus.
Tidak terkecuali Syekh Zainuddin Bawean sendiri, dimana saat itu usianya memasuki 20 tahun. Protes ini berujung pada para ulama Nusantara kumpul dan mendirikan madrasah sendiri, dan meninggalkan Madrasah Shaulatiyah pada 1934.
Muncullah Madrasah Darul Ulum di tahun 1353 H/1934 yang berkarakter Islam Nusantara. Mudir atau rektor pertamanya adalah Syekh Muhsin al-Musawa (wafat 1935). Syekh Yasin Isa al-Fadani, ulama terkenal dari Nusantara dan sahabat akrab Syekh Zainuddin, juga pernah jadi rektor disini.
Seorang ulama Maghribi kenamaan dan ahli hadis dan nahwu bernama Syekh Ali bin Ibrahim al-Maliki (wafat 1948, gurunya para ulama Betawi dan ulama besar Indonesia lainnya) jadi pelindung dan guru besar di madrasah ini.
Maka, Syekh Zainuddin pun pindah dan belajar di Madrasah Darul Ulum yang kemudian menjadi kiblat baru para pelajar Indonesia. Beliau juga ikut andil dalam pendirian dan pengembangan Darul Ulum, termasuk dipercaya mengajar beberapa tahun kemudian.
Selain belajar dan mengajar di Madrasah Darul Ulum, Syekh Zainuddin juga ngaji dan berguru kepada beberapa ulama di dalam pengajian Masjidil Haram maupun di rumah-rumah ulama yang berada di sekitar Makkah.
Itu adalah bukti ketekunan beliau mencari ilmu dan berguru kepada sebanyak mungkin ulama di Makkah-Madinah hingga ke Yaman dan Indonesia. Dalam berbagai lawatan dan kunjungannya di beberapa daerah, beliau tidak lupa untuk selalu silaturahim ke berbagai ulama dan mengambil ijazah ammah dari mereka.
Ijazah ammah adalah perkenan untuk membaca kitab-kitab atau ilmu-ilmu tertentu dari seorang guru, yang diberikan secara umum dalam jamaah pengajian, dan tidak spesifik ilmu atau kitab tertentu yang harus dibaca dari awal hingga akhir.
Di antara ulama-ulama yang memberikan ijazah ammah kepada beliau adalah sebagai berikut: Syekh Muhammad Ibrahim al-Mulla, Syekh Ibrahim bin Muhammad Khair bin Ibrahim al-Ghulayaini, Syekh Habib Hamid bin Abdul Hadi bin Abdullah bin Umar al-Jailani, Syekh Sayyid Muhammad bin Hadi as-Saqaf.
Sementara itu, di antara para ulama yang berguru pada beliau dan meriwayatkan ilmu beliau adalah Syekh Nabil bin Hasyim Ala Ghamri dan Syekh Sayid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani (wafat 2004).
Syekh Zainuddin dikenal punya suara yang bagus, tawadhu dan alim. Gurunya, Syekh Amin al-Kurdi, pernah meminta beliau untuk melantunkan kasidah yang memuji Rasulullah shallallahualaihiwasallam.
Beliau kemudian dipercaya menjadi muballigh di beberapa daerah di negeri Hijaz, hingga ke negeri Yaman dan Indonesia. Syekh Zainuddin juga dikenal sebagai penulis beberapa karya kitab.
Di antaranya al-Fawaidu-z-Zainiyah ala Manzhumati-r-Rahbiyah dalam soal hukum waris, Faidhu-l-Mannan fi Wajibati Hamili-l-Quran, al-Ulumu-l-Wahbiyah fi Manazili-l-Qurbiyah, Ghayatu-s-Sul liman yuridu-l-Ushul ila barri-l-ushul, musyahadatu-l-lmahbub fi tathhiri-l-qawalibi wa-lqulub.
Syekh Zainuddin Bawean menghabiskan masa tuanya di Mekah. Nama beliau selalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan ulama Mekah dan sekitarnya.
Para ulama dan santri jamaah haji Indonesia selalu menyempatkan diri bersilaturahim kepada beliau, mencari berkat dan membaca sedikit dari kitab suci Alquran sebab beliau merupakan seorang yang ahli qira’at.
Syekh Muhammad Zainuddin Bawean wafat pada tahun 1426 H/2005. Jenazah beliau dishalatkan di Masjidil Haram dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la kota Makkah.
Sumber:
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/07/16/nrkbxe-syekh-muhammad-zainuddin-bawean-teladan-dari-bawean-hingga-makkah-1
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/07/16/nrkc63-syekh-muhammad-zainuddin-bawean-teladan-dari-bawean-hingga-makkah-2habis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar